728x90 AdSpace

Latest News

Aceh Malak


Jika kita merujuk pada Profil persiapan Kabupaten Aceh Malaka, yang merupakan suatu daerah yang terletak di sebelah barat dari Kabupaten Aceh Utara, sekarang daerah ini sedang memperjuang ke tingkat DPRK, Bupati Aceh Utara, Gubernur Aceh,  DPRA dan DPD serta DPR RI untuk kemudian disahkan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) untuk dijadikan DOB Kabupaten Aceh Malaka (AMAL). Jika seandainya Kabupaten ini disahkan oleh Mendagri, maka secara geografis Kabupaten ini memiliki luas 698,93 km2 dengan rincian luas tiap-tiap yaitu Sawang: 384,65 km2, Muara Batu: 33,34 km2, Dewantara: 39,47 km2,  Banda Baro: 42,35 km2, Nisam: 114,74 km2, dan Nisam Antara: 84,38 km2.

Sementara itu, adapun gampong di Kabupaten ini memiliki total 122 gampong, dengan rincian sebagai berikut: Sawang: 39 gampong dan 2 kemukiman, Muara Batu: 24 gampong dan 2 kemukiman, Dewantara: 15 gampong dan 2 kemukiman, Banda Baro: 9 gampong dan 2 kemukiman, Nisam: 29 gampong dan 3 kemukiman dan Nisam Antara: 6 gampong dan 1 kemukiman.

Dengan jumlah penduduk sebanyak 152.474 yang tersebar di seluruh wilayah tersebut meliputi Sawang, Muara Batu, Dewantara, Banda Baro, Nisam, dan Nisam Antara.

Secara geografis, Kabupaten Aceh Malaka berbatasan langsung sebelah utara dengan Kabupaten Bireuen, sebelah timur dengan Selat Malaka, sebelah barat dengan Kabupaten Bener Meriah, sebelah selatan dengan Kabupaten Aceh Utara, dan Kota Lhokseumawe.
Peningkatan Kesejahteraan

Pemekaran wilayah adalah strategi pemerintahan untuk optimalisasi fungsi pemerintahan yang pada akhirnya bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Indikator awal menuju peningkatan kesejahteraan adalah kepuasan masyarakat terhadap layanan publik yang mudah dan murah. Pemekaran wilayah sangat memungkinkan diwujudkan pemenuhan kualitas karena semakin dekatnya pusat layanan dibandingkan dengan sebelumnya dan semakin kecilnya rasio antara aparat dan masyarakat yang dilayani.

Namun tentu pelayanan yang diharapkan hanya bisa diperoleh dari aparat yang berkualitas (punya integritas, komitmen dan etos kerja) serta sistem pelayanan yang punya SPM dan SOP sesuai standar.  Jika benar DOB Aceh Malaka adalah untuk kepentingan masyarakat, maka pemerintah harus bersungguh-sungguh memperhatikan aspek pelayanan ini.

Buruknya kinerja pelayanan publik di Aceh adalah ‘PR’ yang harus diselesaikan. Jika Kabupaten Aceh Malaka sudah memenuhi syarat administrasi untuk dimekarkan, maka pemerintah pusat bisa saja memberikan limit waktu beberapa waktu kedepan untuk pembenahan aspek palayanan ini sebagai prioritas disamping kejelasan sumber PAD  dan perbatasan serta penyerahan asset.

Melihat kemajuan luar biasa Aceh Malaka jika terwujud, dengan infrastrukur vital rata-rata sudah ada seperti pelabuhan, bandara, jalan lintas tengah (ke dan dari Bener Meriah dan Aceh Tengah/Gayo Lues) yang bagus dan mulus menghubungkan akses Medan dan Banda Aceh, lalu Universitas sudah ada dan kawasan rencana industri Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) meliputi KKA, PIM, ASEAN ,Pelindo.

Sedangkan dari sektor pertanian, perkebunan kelautan, serta perikanan juga berkembang pesat.  Aceh Malaka memiliki SDA yang berlimpah dan SDM yang mumpuni untuk mengelola sebuah kabupaten tentu saja syaratnya tidak boleh korupsi dan penyalahgunaan wewenang oleh penyelanggara negeri, Krue semangat Aceh Malaka.
Sejarah Wacana Pemekaran Aceh Malaka

Setelah Lhokseumawe yang sebelumnya adalah Ibu Kota dari Kabupaten Aceh Utara ditingkatkan statusnya menjadi Kotamadya pada Tanggal 21 Juni 2001, serta ditetapkannya eks Kewedaan Lhoksukon menjadi Ibu Kota baru Aceh Utara dengan PP Nomor 18 Tahun 2003, maka beberapa tokoh yang berasal dari wilayah barat Aceh Utara pada tahun 2003 mewacanakan pemekaran beberapa Kecamatan seperti Kecamatan Dewantara, Nisam, Nisam Antara, Kuta Makmur, Simpang Keuramat, Banda Baro, Muara Batu, dan Sawang.

Salah satu tokoh yang menjadi pemrakarsa tersebut adalah Drs, Nurdin Yusuf Dewantara dan beberapa tokoh yang berasal dari eks kewedanaan Lhokseumawe yang umumnya berdomisili di Banda Aceh. Mereka mengadakan beberapa pertemuan demi keberhasilan ide tersebut baik di Banda Aceh maupun di Lhokseumawe. Namun, pada 26 Desember 2004 terjadi musibah gempa dan tsunami yang melanda sebagian besar Kota Banda Aceh dan beberapa Kabupaten di Aceh, yang mengakibatkan beberapa ahli akademik yang melakukan kajian tentang Kabupaten Baru di Eks Kewedanaan Lhokseumawe itu menjadi korban dari musibah Gempa dan Tsunami tersebut serta larutnya masyarakat Aceh dalam duka ketika itu yang dengan demikian gaung Pemekaranpun meredup dengan sendirinya.

Selanjutnya pada tahun 2007, Mantan Rektor Universitas Malikussaleh (Unima) Prof. H. A, Hadi Arifin memunculkan kembali wacana Pemekaran Aceh Utara yang pada masa itu tidak disebutkan lagi eks Kewedanaan Lhokseumawe. Namun, dengan sebutan wilayah barat Aceh Utara. Kemudian wacana ini kembali mengalami kendala dan Bupati Aceh Utara ketika itu Tuengku Ilyas A. Hamid dan Walikota Lhkokseumawe Munir Usman menyarankan agar wilayah barat Aceh Utara untuk bergabung dengan Pemerintah Kota Lhokseumawe dengan hanya merekomendasikan Kecamatan Dewantara, Muara Batu, Simpang Keuramat dan Kuta Makmur untuk menjadi bagian dari Pemko Lhokseumawe dan hal tersebut ditolak oleh Tim Pemekaran Aceh Utara wilayah barat.

Tim Pemekaran Aceh Utara wilayah barat yang di Pimpin Prof. H. A. Hadi Arifin Kembali di gelorakan pada tahun 2015. Ketika itu, tim tersebut mendapatkan dukungan tidak hanya di Aceh Utara. Namun, dukungan juga mengalir dari Ormas di Banda Aceh seperti Komunitas Masyarakat Pase Serantau ( KOMPAS) dan Ikatan Pemuda Aceh Utara (IPAU) dengan pertimbangan kependudukan, segi kemampuan ekonomi, SDA dan SDM ketenagakerjaan, sosial dan jarak tempuh dengan Ibukota Kabupaten, menjadi bahan pertimbangan mereka untuk memberi dukungan kepada Pemekaran Aceh Utara wilayah barat. Namun upaya ini juga berjalan dengan tertatih dengan berbagai kendala.

Terakhir, pada malam 17 Ramadhan 1437 H atau Tanggal 21 Juni 2016, Bupati Aceh Utara H. Muhammad Thaib mengemukakan perasaannya yang mulai terasa berat memimpin Aceh Utara yang luasnya 3.297 Km2 dengan jumlah penduduk 583.892 jiwa dan tersebar dalam 852 Desa dan 27 Kecamatan dengan PAD yang minim. Saat itu, beliau mengungkapkan bahwa layaknya Kabupaten Aceh Utara dilakukan pemekaran dengan memberi dukungan kepada Panitia Pemekaran wilyaah barat Aceh Utara untuk melakukan upaya-upaya pemekaran.

Dukungan ini spontan ditanggapi dengan membangun kembali komunikasi antara Panita Pemekaran yang telah ada sebelumnya, Prof. H. A. Hadi Arifin bersama mantan Sekertaris Daerah Aceh, H. Marzuki Abdullah menggelar pertemuan di Balai Desa Kecamatan Dewantara untuk menyahuti dukungan orang nomor satu di Aceh Utara tersebut. Dalam rapat tersebut, tercetuslah nama Aceh Malaka sebagai nama calon Kabupaten atau DOB di wilayah barat Aceh Utara dan membentuk Tim Kajian Akademik Kelayakan DOB, Tim Pemekaran pada tingkat Kecamatan.

Jika tidak dikelola dengan baik dan bijak, maka wacana DOB Aceh Malaka tidak akan pernah berpihak kepada kepentingan masyarakat. Ia akan menjadi komoditas politik penguasa baru atas nama kepentingan masyarakat guna mendapat lahan politik yang justru tidak memberikan apa-apa kepada masyarakat, kecuali kesengsaraan, konflik dan korupsi serta jauh dari semangat pemekaran yakni Peningkatan Kualitas Pelayanan dan Kesejahteraan Masyarakat.

Oleh karena itu, penulis berharap kepada segenap element masyarakt untuk segera saling bahu membahu demi terwujud dan lahirnya DOB Aceh Malaka, seperti halnya Kota Meulaboh pemekaran dari Aceh Barat, Kota Simeulue pemekaran dari Simeulue, Aceh Selatan Jaya pemekaran dari Aceh Selatan dan Aceh Raya pemekaran dari Aceh Besar.
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: Aceh Malak Rating: 5 Reviewed By: desa babah buloh